Ini lah cerita nya:
Di kalangan masyarakat Semarang dan Indonesia umumnya Tersiar cerita mengenai kedatangan armada Zheng He di Semarang,Jawa Tengah,yang diperkirakan tiba pada tahun1416.Seperti diketahui Zheng He yang mendapat mandaat khusus dari Kaisar Ming Cheng-zu untuk memimpin armada raksasanya berangkat dari pelabuhan Liu-jia-gang,dekat Shuzhou,propinsi Jiangsu untuk pertama kali nya berangkat pada tahun 1405.
Dalam kesempatan perjalanan nya selama 7 kali itu ia mengunjungi Jawa 2 kali,yaitu tahun 1406 dan 1416.Pada tahun1416 itu pantai Simiongan diperkirakan masih terletak dipantai laut.Armada Zheng he diperkirakan membuang sauh disana,dan dalam kesempatan itu memperbaiki kapal-kapal nya.Desa Mangkang di Semarang barat diperkirakan pernah menjadi tempat memperbaiki kapal armada itu,sebab itu disebut Mangkang (yang konon berasal dari dialek Hokkian ”wakang” yang bearti perahu besar)
Menurut cerita,ketika armada berlayar di muka pantai utara Jawa,Wang Jinghong yang merupakan orang kedua dalam armada itu,mendadak sakit keras.Zheng He memerintahkan agar armada membuang sauh di pantai Simongan,Semarang.Setelah mendarat Zheng He dan awak-kapal nya menemukan sebuah gua di pantai yang berbukit itu.Gua itu kemudian dijadikan tangsi sementara,dan dirikan pondok kecil diluarnya sebagai tempat istirahat dan pengobatan bagi Wang Jinghong.Di sana Wang tinggal untuk sementara waktu bersama sepuluh anak buah kapalnya,sementara Zheng He melanjutkan perjalanan ke barat.Selama di Simongan Wang memimpin anak-buah nya menggarap lahan,membangun rumah dan bergaul dengan penduduk setempat.Setelah sembuh rupanya ia jadi betah tinggal disana.Awak kapal nya berturut-turut lalu menikahi wanita setempat.Berkat jerih payah nya lingkungan sekitar gua itu jadi berkembang dan makmur,karena aktifitas dagang dan pertanian,sehingga semakin banyak orang Tionghoa yang datang dan bertempat-tinggal dan bercocok-tanam di sana.
Demi menghormati laksamana Zheng he,Wang Jinghong kemudian mendirikan patung Zheng he di gua tadi untuk di hormati dan dikenang orang.Ketika Wang meninggal pada usia 87 tahun,ia di kuburkan di sana,dan penduduk setempat menyebutnya Kiai Juru-mudi Dampo Awang.Makan Juru-mudi inilah yang sekarang dipugar dan diperbesar.Dan terletak bersebelahan dengan balairung utaman.Sejak itu pada tanggal 1 dan 15 imlik tiap bulan berbondong-bondong orang datang untuk bersembah dihadapan arca Zheng He di gua dan sekaligus menjiarahi makam Juru-mudi Dampo Awang.
Untuk memperingati Zheng He yang selanjutnya di sebut San Bao(baca:San pao) atau Sam Poo (dalam lafal Hokkian),dibangun kelenteng Sam Poo Kong.Mula-mula kelenteng itu sangat sederhana.Dalam gua itu hanya terdapat Zheng He semata.Pada tahun 1704 gua itu runtuh akibat angin ribut,hujan lebat dan tanah longsor.Orang kemudian membangun gua buatan yang terletak bersebelahan dengan makam juru-mudi.Tahun itu menandai pemugaran pertama kelenteng Sam Poo Kong.Pada hari-hari raya,khusus nya tanggal 29 Lak-gwee,setiap tahun lalu diperingati sebagai hari mendaratnya Zheng He di Semarang,dan diadakan arak-arakan secara besar-besaran.
Pada tahun 1704 terjadi pergolakan besar,sehubungan dengan pembunuhan besar-besaran terhadap orang Thionghoa di Batavia,atas perintah Kompeni,orang Tionghoa yang selamat lari ke Jawa tengah dan menyusun perlawanan bersenjata.
Mereka berseketu dan mendapat dukungan dari kesunanan di Kartasura.Salah satu pemimpin perlawanan adalah Souw Pan Djiang yang sehari-hari hidup sebagai guru silatdi sekitar Simongan.Setelah perlawanan berhasil ditumpas Kompeni Souw Pan Djiang diburu,dan dalam satu penggerebekan Souw yang tersudut,tak ada pilihan lain lalu terjun ke sungai dan sejak itu lenyap tak jelas rimba nya.Untuk mengenang semangat perjuangannya penduduk setempat menamai tempat sekitar itu sebagai kampung Panjangan(panjang-Pan Djiang).Untuk menghindari perlawanan lebih lanjut,pemerintah Kompeni lalu memindahkan semua orang Thionghoa di wilayah gedung batu itu ke daerah Pecinan yang sekarang dekat militer Belanda agar mudah di awasi.
Pada pertengahan kedua abad 19,kawasan Simongan yang selanjutnya lebih populer dengan sebutan Gedung Batu,dikuasai oleh Johanes seorang tuan tanah keturunan Yahudi.Dia menjadikan kawasan itu sebagai lahan mengeduk keuntungan.
Masyarakat Thionghoa yang ingin bersembahyang di kelenteng Sam poo Kong dikenakan Cukai,karena cukai yang diminta sangat tinggi masyarakat tidak mampu membayar secara perorangan.Masyarakat Thionghoa terpaksa mengumpulkan dana sebesar 2000 gulden sebagai biaya buka pintu untuk satu tahun.Karena biaya dinilai terlalu mahal,diturunkan menjadi 500 gulden.Walaupun demikian jumlah ini masih dirasakan memberatkan masyarakat.Demi kelanjutan kegiatan penyembahan kepada Sam Poo Kong,maka masyarakat membuat duplikat patung Sam Poo Kong yang kemudian diletakan di kelenteng Tay Kak Si yang dibangun pada tahun 1771 di Gang Lombok.Selanjut nya kegiatan penyembahan beralih ke Gang Lombok,hanya tiap tahun menjelang tanggal 29 atau 30 bulan 6 imlik,patung duplikat itu di arak ke Sam Poo Kong Gedung batu,sebagai upacara memperkuat asal-usul.Sejak itu acara prosesi dari Tay-Kak Si ke Gedung Batu menjadi acara utama dalam kegiatan dalam setahun.Di jaman Belanda arak-arakan itu hanya dibolehkan berhenti di depan pagar kompleks yang didirikan Yohanes.
Oei Tjie Sing seorang pedagang Thionghoa terkemuka pada masa itu bernazar akan membeli kawasan suci itu bila usaha nya mendapat kemajuan besar.Pada tahun Guang-xu ke 5,atau 1879 Masehi,keinginannya terkabul,dibelinya lokasi itu dan kelenteng Sam Poo Kong dipugar lagi.Peralihan hak persil ini ditandai dengan sebuah batu peringatan yang bertahun 1879.Tahun itu masyarakat di Semarang mengadakan sembahyang besar di Kelenteng Sam Poo Kong,sebagai ungkapan syukur atas peristiwa itu.Tahun 1930 Li Hoo Sun sebagai kuasa untuk mengurus perumahan dan tanah milik Oei Tiong Ham Concern mengambil insiatif untuk menggalakan arak-arakan seperti semula,sehubungan dengan dengan perhatian masyarakat Thionghoa pada masa itu terhadap Klenteng Sam Poo Kong.Dibantu beberapa rekan nya ia mendirikan Komitee Sam Poo Tay Djian,dan berkat dorongannya perayaan jadi meriah kembali.Setelah Oei Tiong Ham meninggal tahun 1924,Li Hoo Sun mengajukan permintaan pada ahli waris Oei,agar tanah sekitar kelenteng itu diberikan kepada yayasan yang nantinya bertugas mengurus kompleks tersebut.Permintaan itu dikabulkan dan kemudian lahirlah Yayasan Sam Poo Kong.
No comments:
Post a Comment